Namun, faktanya tak begitu. Dalam dokumen klarifikasi sepanjang 5 halaman, yang dimuat di situs ppidelft.net, Dwi mengatakan dirinya khilaf memberikan informasi yang tidak benar, baik melalui media massa maupun media sosial.
Informasi yang disampaikannya, kata Dwi, selama ini tidak akurat dan cenderung melebih-lebihkan, serta tidak melakukan koreksi, verifikasi, dan klarifikasi segera setelah informasi yang tidak benar itu meluas.
Dwi menuliskan dokumen panjang lebar berisi klarifikasinya. Pertama dia meluruskan latar belakang akademiknya. Dia adalah lulusan S1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, lulus pada 15 November 2005. Jadi, bukan lulusan Tokyo Institute of Technology Jepang.
Dia kemudian mengambil program S2 di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission. Memang ini beririsan dengan sistem satelit, tapi khusus mengenai satellite data telemetri dan ground segment network platform-nya.
Dwi saat ini sedang menjalani program S3 di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems, di fakultas yang sama di Delft. “Dengan demikian, posisi saya yang benar adalah seorang mahasiswa doktoral di TU Delft,” kata Dwi. “Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar.”
Dwi juga membantah pemberitaan di media online. Dwi mengatakan tidak benar dia dan tim merancang bangun Satellite Launch Vehicle. Yang benar, dia adalah bagian dari tim mahasiswa yang merancang subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE. Dia sekaligus membantah ada roket bernama TARAV7s.
Klarifikasi hampir sama juga diberikan untuk wawancara Dwi dengan sebuah program televisi. Dia menambahkan bahwa tidak benar bahwa dia adalah satu-satunya orang non-Eropa yang masuk ke ring satu teknologi Badan Antariksa Eropa (ESA).
Dwi mengaku berbohong mengenai kemenangan di kompetisi antarbadan antariksa di Jerman pada 2017. Dia juga mengaku memanipulasi cek hadiah. Teknologi Lethal weapon in the sky dan paten beberapa teknologi lain, diakuinya tidak pernah ada. Demikian juga bahwa dirinya dan tim sedang mengembangkan teknologi pesawat tempur generasi keenam. Itu semua tidak benar.
Tentang pertemuan dengan B.J. Habibie, Dwi mengatakan bukan Habibie yang meminta bertemu dengannya, tapi dialah yang meminta pihak KBRI Den Haag untuk dipertemukan dengan Habibie.
Karena semua kebohongan itu juga di-posting oleh Dwi di akun media sosialnya, salah satunya Facebook, Dwi mengaku sudah menutup akun tersebut.
Dwi membenarkan dia diundang ke acara Visiting World Class Professor di Jakarta. Tapi segala kompetensi yang disebutkan sebagai alasan dia diundang, adalah tidak benar.
Pada bagian akhir, Dwi menuturkan telah menjalani serangkaian sidang kode etik di TU Delft sejak 25 September 2017. Namun keputusannya masih dalam proses.
Di surat bermeterai 6.000 itu, Dwi berjanji tidak akan mengulangi kesalahan tersebut dan tetap berkarya di bidang kompetensinya yang sebenarnya, yaitu sistem komputasi. Dia berjanji akan menolak pemberitaan maupun undangan berbicara di luar kompetensinya.
“Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya, seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum,” katanya, mengakhiri. (ded)
Baca Kelanjutan Pengakuan Lengkap Dwi Hartanto soal Kebohongan Prestasinya : http://ift.tt/2y1uACnBagikan Berita Ini
0 Response to "Pengakuan Lengkap Dwi Hartanto soal Kebohongan Prestasinya"
Post a Comment